Senin, 07 April 2008

Kearifan Emas

Seorang Pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, “Guru, saya tidak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah dimasa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain.”

Sang Sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi terlebih dahulu lakukanlah suatu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar diseberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?”

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “satu keeping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa terjual seharga itu.”

Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak satupun yang berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnyadengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar lebih dari satu keping perak.”

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata,”Sekarang pergilah kamu ke toko emas dibelakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas disana. Jangan buka harga, dengarkanlah saja bagaimana ia memberikan penilaian.”

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor,” Guru, ternyata pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.”

Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih,”Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.

Emas dan permata yang ada didalam diri seseorang hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat kedalam jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat loyang ternyata emas.”